Social Trust Fund (STF) adalah
sebuah ikhtiar dari Dompet Dhuafa sebagai alternatif untuk mengisi ‘ruang’ yang mulai ditinggalkan institusi dan
lembaga-lembaga keuangan Islam
(IBF). Ruang itu adalah pemberdayaan umat. Sejatinya, salah satu ide besar mendirikan IBF adalah sebagai salah satu pusat
pengembangan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Tetapi ide ini ternyata semakin terabaikan. Menurut Hamidi (2012:333), sekarang ini tujuan IBF kurang lebih sama dengan perbankan konvensional; maksimasi profit. Program pemberdayaan umat
dinomor-belakangkan.
M. Dawam
Rahardjo dalam
tulisannya (Kompas, 14/2/2014) mengatakan, sekarang ini bank syariah secara esensial tidak
berbeda dengan bank konvensional; masih sebagai lembaga “peternakan uang”. Misi sosial IBF untuk membela kaum dhuafa kehilangan tempat. Misalanya perbankan syariah, menurut data sekitar
70 persen akad di bank-bank syariah masih berupa transaksi murabahah yang
melayani kebutuhan konsumsi dan perdagangan dengan sistem mark up.
Pembiayaan yang bersifat sosial seperti qard hasan meskipun ada
jumlahnya amat minim. (Hamidi, 2012:333) Akhirnya, lembaga ini tetap menguatkan
premis “bank tidak bisa disentuh orang miskin”. Seperti bank pada umumnya,
mereka cenderung enggan melayani rumah tangga berpendapatan rendah, karena
dianggap tidak bankable.
Memang IBF juga
bukan lembaga sosial dan keberadaannya sendiri tidak mungkin mengatasi tugas
atau misi mengentaskan kemiskinan. (Hamidi, 2012:334) Fakta tersebut
menginisisasi pembentukan lembaga keuangan mikro berbasis sosial yang dikenal
dengan Sosial Trust Fund (STF). STF dikembangkan untuk memainkan fungsi
bank orang miskin yang sesungguhnya. Transaksi dominan yang dikembangkan pun
berbasis kepada akad qard hasan. Dengan menggunakan sistem qard hasan, program
ini berbeda dengan program “bagi-bagi uang”, seperti Bantuan Langsung Tunai (BLT). Program
ini menuntut pelibatan dan pemberdayaan kaum dhuafa. Masyarakat penerima manfaat juga
tertantang untuk bekerja produktif karena harus mengembalikan dana pinjaman.
Program yang
dikembangkan oleh Dompet Dhuafa ini patut diapresiasi dan dicontoh oleh
lembaga-lembaga keuangan lain dalam
rangka memberdayakan kaum dhuafa lewat pembiayaan Qardh Hasan sebagai
sebuah ikhtiar untuk memajukan kesejahteraan umat.
Program ini merupakan satu langkah untuk memudahkan akses pembiyaan bagi
kaum dhuafa. Ini merupakan langkah untuk mengundang berkah ke negeri tercinta
ini, sebagaimana sosialisi Dompet Dhuafa melalui program Zakatnesia. Nabi SAW pernah bersabda, sebagaimana diriwayatkan oleh Abi Said,
“Bagaimana bisa Allah memberkati suatu bangsa di mana rakyat yang lemah tidak
bisa mendapatkan hak-haknya dari yang kuat tanpa harus bersusah payah.”
(Mas’udi, 2013;268)
MENGENAL LEMBAGA SOCIAL TRUST FUND (STF)
STF adalah salah satu bentuk rekayasa sosial-ekonomi yang
dilakukan Dompet Dhuafa di tengah masyarakat. Tugas terbesarnya adalah
memastikan bahwa Unit STF tetap menjadi entitas bejiwa sosial yang mampu tegak
mandiri dan berkelanjutan, menebar kemanfaatan bagi masyarakat melalui
fasilitas akses permodalan yang cepat dan murah. (Satrio, 2014:25)
Lahirnya program STF diilhami oleh susksesnya Grameen
Bank yang dilahir-kan Muhammad Yunus, peraih Nobel asal Bangladesh, tempat bank
ini beroperasi. Grameen Bank adalah bank yang memberikan fasilitas kredit
kepada keluarga miskin, khususnya perempuan usia produktif, atau para janda di
Bangladesh yang tak memiliki pekerjaan, tanpa jaminan atau agunan. Pola yang
dijalankan adalah pemberian bantuan modal usaha untuk skala mikro. (Satrio,
2014:51) STF dan Grameen Bank memiliki cita-cita yang sama untuk membantu
masyarakat kecil melalui sector keuangan, tetapi secara kelembagaan keduanya
berbeda, jika Grameen Bank dimiliki oleh sekelompok pemilik modal, STF dimiliki
oleh masyarakat sendiri. (Satro, 2014:55)
STF ini juga mirip dengan bank sosial yang sudah
diterapkan di beberapa negara maju, yang merupakan antitesis bank syariah di
Indonesia, BPR SYariah, atau bahkan BMT yang ternyata belum sepenuhnya berpihak
kepada masyarakat kecil. STF dan bank sosial memiliki orientasi dan tujuan yang
sama. Hanya saja dalam konsep bank sosial berbasis pengguna, STF memiliki
orientasi benefit (manfaat), meski tidak menihilkan profit (keuntungan).
(Satrio, 2014:23)
STF pertama kali digulirkan pada tahun 2009 di Padang
Pariaman. Setelah itu program STF telah dan sedang dilaksanakan di delapan
tempat, yaitu Tasikmalaya, Padang Pariaman, Wasior, Mentawai, Tangerang
Selatan, Jakarta Barat, Surabaya, dan Manado. Dari delapan STF itu, tiga di
antaranya telah dimandirikan dan bertransformasi menajdi lembagab keuangan
mikro berbentuk koperasi. Perkembangannya saat ini bisa diambil dari tiga
contoh unit STF Tasikmalaya. Dari 3 STF Unit tersebut mampu menebar manfaat
kepada 1.646 KK dengan total dana bergulir selama program berjalan sebanyak
Rp3.396 Milyar. Alokasi dana modal usaha dari 3 unit tersebut sebesar Rp1.274
Milyar. (Satrio, 2014:47-49)
Pada awalnya,
sumber dana bergulir yang disalurkan melaui STF adalah dana kemanusiaan yang
dihimpun Dompet Dhuafa ketika terjadi bencana alam di suatu wilayah. Setelah
STF tidak terbatas hanya pada daerah terdampak bencana, sumber dana STF juga
berkembang. Tidak saja berasal dari dana kemanusiaan, melainkan juga CSR
(Corporate Social Responsibility),
zakat, infak, maupun sedekah yang didonasikan para
donator. (Satrio, 2014:30)
PERAN SOCIAL TRUST FUND DALAM PEMBERDAYAAN
KAUM DHUAFA
Dalam
konteks beberapa ayat Alquran, yang dimaksud kaum dhuafa atau mustadh’afin menurut
Al-Masyukhi (2012:22) adalah orang-orang yang berada dalam kondisi lemah, di
mana mereka tidak sanggup untuk menampakkan identitas keislaman dan
syiar-syiarnya, atau tidak mampu menerapkan keseluruhan atau sebagian ajaran
Islam dikarenakan keberadaan musuh atau pemimpin yang zalim.
Namun,
jika kita melakukan pengkajian dari peristilahan yang digunakan Allah dalam
Alquran secara keseluruhan dan dengan mengkaji akar katanya, maka yang
dikatakan mustadh’afin, terkait erat dengan konteks ekonomi, konteks
kemerdekaan dan juga konteks fisik. Alquran merinci mereka, antara lain; anak‑anak yatim; orang‑orang miskin; ibnussabil
(musafir); orang yang meminta‑minta; hamba sahaya (al‑Baqarah; 177);
tunanetra; orang cacat fisik; orang sakit (an Nuur:61); manusia lanjut usia (al
Israa’: 23) orang‑orang fakir; orang‑orang yang berutang
(gharimin); orang yang berjuang di jalan Allah (fii Sabilillah)
(at Taubah:60); rakyat kecil yang tertindas (an Nisaa’:75); anak‑anak kecil dan bayi
(al An’aam:140).
Alquran mendorong agar kaum dhuafa ini dibela dan
dibebaskan. Menurut Fazlur Rahman, di antara Major Themes of Al-Quran adalah
membela, menyelamatkan, membebaskan, melindungi dan memuliakan kelompok
mustadh’afin ini. (metroislam.com, 8/8/2015) Satu ayat dari surat An-Nisa`,
tepatnya ayat 75, menurut penulis cukup untuk mendukung argument ini. “Mengapa
kamu tidak mau berperang di jalan Allah dan (membela) orang-orang yang lemah
baik laki-laki, wanita-wanita maupun anak-anak.”
Pangkal ayat ini,
baik menurut Ar-Razi (10/187) maupun Al-Qurthubi (6/459) menunjukkan jihad fi
sabilillah adalah sebuah kewajiban. Menurut Az-Zujjaj, sebagimana diutip
oleh Al-Qurthubi, kata al-mustadh’afin diathafkan kepada kata Allah.
Sehingga dia berkesimpulan bahwa membebaskan mustadh’afin termasuk bagian sabilillah.
Pendapat lain mengatakan dia diathafkan kepada kata sabil. Sehingga
ayat ini bermakna, “Kenapa kamu tidak berperang di jalan Allah, dan kenapa kamu
tidak berperang demi membebaskan kaum mustadh’afin?” Jihad fi sabilillah disejajarkan
dengan jihad atau perang untuk membebaskan mustadh’afin.
Kalangan
mustadh’afin adalah masyarakat yang sangat perlu mendapat bantuan dan
pemberdayaan. Keberhasilan Grameen Bank di Bangladesh menjadi salah satu argument untuk
mendukung filosofi bahwa orang miskin sebenarnya memiliki potensi untuk
berkembang, asalkan dibantu dan diberdayakan. (Satrio, 2014:51) Setidaknya,
kita dapat menangkap pesan tersirat dari Alquran yang mendukung filosofi ini
dalam surat Al-Qashash ayat 5. Di mana kaum mustadh’afin memiliki
peluang untuk menjadi para pemimpin dan pewaris bumi.
Untuk itu, STF melakukan upaya untuk memberdayakan kalangan mustadh’afin
:
Pertama, Memudahkan
akses pembiayaan kaum dhuafa. Untuk itu, Social Trust Fund (STF) didirikan di tengah-tengah komunitas
marginal, bencana, ataupun kantong miskin perkotaan. (Satrio, 2014:11) Karena
visi STF adalah membantu percepatan pengembangan ekonomi masyarakat di wilayah
bencana, pedesaan, pesisir dan perkotaan melalui penumbuhan lembaga keswadayaan
local berbasis keuangan mikro dan komunitas yang mampu memberikan manfaat
secara sosial-ekonomi (multiplier effect). (Satrio, 2014:23)
Kedua, Sasaran
pembiayaan adalah usaha-usaha yang digeluti mustadh’afin. Praktek yang
dijalankan memerankan fungsi bank orang miskin sesungguhnya. Dalam
pengelolannya, ada empat sector ekonomi mikro menjadi sasaran penerima manfaat
program STF: kelompok perdagangan mikro; kelompok industri kecil rumah tangga;
kelompok jasa; dan kelmpok pertanian, perikanan, perikanan dan peternakan. (Satrio,
2014:44)
Ketiga, Memandirikan
STF menjadi lembaga yang dikelola oleh mustadh’afin. Awalnya, lembaga ini akan
dikelola oleh masyarakat sendiri dengan bantuan dan dampingan Dompet Dhuafa.
Setelah masa pendampingan selesai, lembaga ini terus berjalan memberikan
kebermanfaatan bagi masyarakat miskin yang membutuhkan pinjaman modal usaha dan
yang lainnya. (Satrio, 2014:12) Karena program ini dirancang agar dapat
berkelanjutan, maka STF harus memberdayakan masyarakat local. STF harus mampu meningkatkan kapasitas
masyarakat setempat, sehingga di kemudian hari mereka dapat menjalankan program
ini secara berkesinambungan. (Satrio,
2014:23)
Entitas STF berbentuk lembaga keuangan
mikro-koperasi. Karena bentuk lembaga ini yang memungkinkan segenap warga di
daerah sasaran dapat terlibat aktif dan memiliki secara bersama-sama. Hingga
saat ini koperasi masih dinilai merupakan bentuk yang ideal untuk membangun
ekonomi kerakyatan. (Satrio, 2014:24)
SKEMA PEMBIAYAAN QARDH HASAN DALAM PRAKTIK SOCIAL TRUST FUND
Salah satu model pembiayaan alternatif dalam Alquran
guna membantu dan memberdayakan mustadh’afin adalah melalui pembiayaan berbasis
qardh hasan (pinjaman kebajikan). Uniknya, dalam sebuah hadis riwayat
Al-Baihaqi, disebutkan meminjamkan sesuatu lebih baik daripada
menyedekahkannya. (Ad-Dimyathi, 3/48) Jika kita gunakan filosofi “memberi kail,
bukan memberi ikan” tentu saja memberi pinjaman bisa jadi lebih baik daripada
sedekah.
Dalam Alquran, anjuran utuk memasyarakatkan pembiayaan
ini dapat ditemukan dalam surat al-Hadid ayat 11, at-Tagabun ayat 17 dan
surat al-Baqarah ayat 245. Dalam surat Al-Hadid disebutkan, “Siapakah yang mau
meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, Maka Allah akan melipat-gandakan
(balasan) pinjaman itu untuknya, dan Dia akan memperoleh pahala yang banyak.”
Qardhul hasan dalam kitab-kitab
klasik adalah qardh. Qardh secara etimologi berarti al-qot’u yang
artinya pemotongan. Suatu pinjaman dianggap baik (hasan), halal dan murni
apabila tidak bercampur dengan sesuatu yang haram, tidak dicemari perilaku
menyebut-nyebutnya dan menyakiti si penerima, dan tidak dilakukan untuk tujuan
riya` dan sum’ah, tetapi dilakukan murni mengharap ridha Allah semata.
(Al-Qummi, 1996:1/662)
Qardh hasan atau benevolent
loan adalah suatu pinjaman lunak yang diberikan atas dasar kewajiban sosial
semata, dimana si peminjam tidak dituntut untuk mengembalikan apapun kecuali
modal pinjaman. PSAK No. 59 tentang akuntansi perbankan syariah paragrap
139-141, menjelaskan bahwa pinjaman qardh adalah penyediaan dana atau tagihan
yang dapat dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan
antara peminjam dengan pihak yang meminjamkan mewajibkan peminjam melunasi
utang setelah jangka waktu tertentu. Pihak yang meminjamkan dapat menerima imbalan,
tetapi tidak diperkenankan untuk dipersyaratkan di dalam perjanjian. (Muljono,
2015:201)
Alquran menunjukkan bahwa pinjaman yang diberikan
dapat tumbuh berlipat-ganda. Secara mikro, qardh memang tidak memberikan
manfaat langsung bagi orang yang meminjamkan. Namun secara makro, qardh akan
memberikan manfaat bagi perekonomian secara keseluruhan. Hal ini disebabkan
karena pemberian qardh membuat velocity of money (percepatan perputaran
uang) akan bertambah cepat, yang berarti bertambahnya darah baru bagi
perekonomian, sehingga pendapatan nasioanl (national income) maningkat. Dengan
peningkatan pendapatan nasional, maka pemberi pinjaman akan meningkat pula
pendapatnnya. (Muljono, 2015:196)
Sisi sosial pembiayaan melalui qardh hasan ini dapat
ditangkap dengan jelas dari salah satu prinsipnya dalam Alquran, tepatnya dalam
surat Al-Baqarah ayat 280, “Dan jika (orang yang
berhutang itu) dalam kesukaran, Maka berilah tangguh sampai Dia berkelapangan.
dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu
mengetahui.”
Qardh Hasan merupakan salah satu ciri pembeda bank
Islam dengan bank konvensional yang di dalamnya terkandung misi sosial, di
samping misi komersial. (Huda, 2010:64) Oleh karena itu, Dewan Syariah Nasional
MUI mengeluarkan fatwa No. 19/DSN-MUI/IX/2000 tentang qardh oleh LKS. Di dalam
pertimbangannya disebutkan bahwa penyaluran dana melalui prinsip qardh
merupakan salah satu sarana peningkatan perekonomian yang dapat dilakukan oleh
LKS. Dalam fatwa ini ditekankan LKS, disamping sebagai lembaga komersial, harus
dapat berperan sebagai lembaga sosial yang dapat meningkatkan perekonomian
secara maksimal. (Huda, 2010:60) Salah satu sarana yang dapat dimaksimalkan
adalah dengan memasyarakat-kan
pembiayaan Qardh Hasan.
Dalam rangka
membumikan pesan Alquran untuk mempraktikkan skema pembiayaan qardh hasan,
sebagai bentuk ibadah sosial, guna melayani dan memudahkan akses pembiayaan
bagi kaum duafa, STF memberikan porsi besar dan mengutamakan model pembiayaan
qardh hasan ini. Dalam praktik STF, pembiayaan qardh hasan dapat dilihat dari
beberapa poin berikut ini :
Pertama, Setelah STF
menjadi sebuah lembaga keuangan, lembaga ini tidak boleh berorientasi profit
semata, dan menihilkan nilai-nilai sosial. Oleh karenanya harus diatur bahwa
akad Qradh Hasan harus memiliki porsi yang relative besar tanpa mengabaikan
pengembangan dan ekspansi lembaga. (Satrio, 2014:24)
Kedua, Pada tahun
pertama, semua skema pinjaman menggunakan akad Qardh Hasan. Artinya, masyarakat
cukup mengembalikan pokok pinjaman, tanpa ada kelebihan. Namun demikian, setiap
penerima manfaat dianjurkan untuk membayar infak sesuai dengan kemampuan.
(Satrio, 2014:32)
Ketiga, Pada tahun
kedua, STF unit baru diperkenankan untuk menerapkan skema Murabahah atau
Mudharabah. Akad non-Qardh Hasan ini diterapkan bagi mereka yang menerima
fasilitas pinjaman kedua, dan atau mereka yang telah mengalami peningkatan
taraf ekonomi atau kemajuan usahanya. Artinya, tidak semua yang telah mendapat
fasilitas pinjaman pertama harus mengikuti skema Murabahah. Mereka dapat
meminjam kemnali denga akad Qardh Hasan dengan plafon sama atau range yang
telah ditentukan. Skema di luar Qardh Hasan seperti Murabahah dan sebagainya
ditekankan hanya memiliki porsi maksimal 40 persen di setiap STF pada tahun
kedua. (Satrio, 2014:34)
POTENSI DAN KENDALA PENGEMBANGAN SOCIAL TRUST FUND
Potensi dan peluang
STF menjadi sebuah lembaga yang mampu mensejahterakan umat dengan menggerakkan
ekonomi masyarakat di lapisan bawah, paling tidak dapat dilihat dari beberapa
aspek:
Pertama,
pengembangan usaha mikro. Berdasar data Mei 2014, hampir semua STF, porsi
sector usaha mikro mencapai 80 persen lebih dari sekitar tiga ribuan KK
penerima manfaat. (Satrio, 2014:44)
Usaha-usaha ini berpotensi membuka lapangan kerja baru, sehingga dapat
mengurangi angka pengangguran.
Kedua, pemberian qardh
membuat velocity of money (percepatan perputaran uang) akan bertambah
cepat, yang berarti bertambahnya darah baru bagi perekonomian, sehingga
pendapatan nasioanl (national income) maningkat. Dengan peningkatan pendapatan
nasional, maka pemberi pinjaman akan meningkat pula pendapatnnya. (Muljono,
2015:196)
Ketiga, menggenjot
lahirnya entrepreneur-entrepreneuer baru. Dana yang diberikan kepada penerima
manfaat adalah modal yang kelak harus dikembalikan. Karena itu, para penerima
manfaat akan tertuntut untuk mengembangkan sebuah usaha produktif. Lahirnya
pengusaha-penguasaha baru ini memberikan nilai positif dalam pertumbuhan
ekonomi. Data memperlihatkan bahwa kemajuan suatu
bangsa salah satunya ditentukan oleh seberapa banyak proporsi jumlah pengusaha
di negara itu. Ciputra, seorang taipan Indonesia, berpendapat untuk pertumbuhan
ekonomi yang konsisten sebuah negeri membutuhkan sedikitnya 5 persen
penduduknya adalah pengusaha. (Nasihin Masha, 21014:24)
Keempat, peluang
untuk mengembangkan program ini masih sangat terbuka, mengingat mayoritas
penduduk Indonesia dinilai sebagai non-bankable, sehingga sangat
memerlukan program sejenis ini. Penempatannya juga sangat memudahkan untuk
mendapat akses dari masyarakat. Program ini masih baru, jika terus
dikembangkan, program ini dapat menjadi harapan baru untuk menggenjot
perekonomian bangsa, khususnya di arus bawah.
Program STF ini
bukan nihil kekurangan dan kosong kritikan. Program ini masih harus terus
disempurnakan dan dilakuakan perbaikan. Tantangan dan kendala yang sering
muncul adalah :
Pertama, momok
kredit macet. Setelah berubah menjadi koperasi STF, sebagian besar anggota
tidak memiliki agunan atas pinjamannya sehingga memiliki resiko yang lebih
besar. Resiko besaran pinjaman/pembiayaan bermasalah relative sangat tinggi
jika dibandingkan dengan lembaga keuangan lain, maupun perbankan pada umumnya.
Rasio tersebut bisa mencapai 30 persen bahkan lebih. (Satrio, 2014:118)
Kedua, dilema
pinjaman konsumtif. Tujuan awal program ini adalah untuk membantu masyarakat
dalam permodalan agar mampu bangkit setelah tertimpa bencana. Namun dalam
realitanya tidak sepenuhnya dapat dimanfaatkan penggunaannya untuk hal
tersebut. Masyarakat kecil di sekitar kita tidak bisa semua dipaksa untuk
menjalankan usaha, sementara mereka memiliki hajat yang mendesak untuk
dipenuhi. (Satrio, 2014:127)
Ketiga, kapasitas
dan kualitas SDM. Permasalahan SDM memang menjadi tantangan utama pengelolaan
program STF. Kendala pertama yang dihadapi adalah sangat sulitnya menemukan
seseorang yang memiliki taraf pendidikan tinggi di daerah pesisir dan pedesaan.
Permasalahan kedua adalah lemahnya kepemimpinan. Kadang “anak buah” yang
dipimpinnya tidak mampu menerjemahkan tugas yang diberikan. (Satrio, 2014:
129-130)
AKHIR KALAM
Sistem ekonomi yang
dibawa Nabi Muhammad meliputi semua aspek kehidupan manusia dalam rangka
membela ekonomi kaum duafa. Muhammad Sharif Chaudhry, seorang hakim agung di
Pakistan, menuliskan dalam bukunya, Fundamental of Islamic Economic System,
tujuan primer sistem ekonomi Islam, berdasarkan Alquran surat Al-Hasyr:7,
adalah menjembatani celah antara si kaya dan si miskin dengan merekayasa
distribusi kekayaan maupun sumber-sumber ekonomi demi kebaikan mereka yang
kurang beruntung. (2014:33)
Social Trust Fund
(STF) hadir untuk memerankan
tujuan sistem primer ekonomi Islam tersebut. STF dihadikran sebagai sebuah lembaga keuanganmikro
berbasis sosial yang dibangun untuk memerankan bank orang miskin sesungguhnya.
STF hadir di tengah-tengah masyarakat marginal, pesisir, desa dan kantong
miskin perkotaan. STF memberikan mereka akses pembiayaan dan harapan, ketika
lembaga-lembaga keuangan lain enggan memberikannya.
STF telah berhasil
menjadi sebuah lembaga yang mencerminkan nilai-nilai sosial Alquran, baik dalam
pemberdayaan kaum mustadh’afin, maupun dalam skema pembiayaan berbasis sosial
melalui akad Qardh Hasan.
Lembaga ini
merupakan salah satu representasi sistem ekonomi Islam yang sesungguhnya,
karena orientasinya bukan profit semata tetapi kebermanfaatan untuk
pemberdayaan masyarakat yang merupakan syarat mutlak memajukan kesejahteraan
yang berkeadilan. Potensinya untuk memajukan kesejahteraan dapat dilihat dari
beberapa aspek, antara lain; kemampuannya untuk mengembangkan usaha-usaha
mikro, yang nantinya dapat membuka lapangan kerja baru, dan melahirkan pengusaha-pengusaha
baru. Selain itu, kesederhanaan pembiayaan ini akan mempercepat perputaran uang
di tengah masyarakat, yang secara tidak langsung akan meningkatkan pertumbuhan
perekonomian. Namun demikian, program ini bukan tanpa cela, dan harus terus dilakukan
perbaikan dan penyempurnaan.
Program ini layak diapresiasi dan diteladani oleh lembaga-lembaga keuangan
Islam lainnya. Namun, menyadari bahwa program ini masih
relative muda, masih banyak yang harus dibenahi dalam pengelolaannya. Namun
berpegang pada prinsip ushuliyah, bahwa “sesuatu yang tidak bisa dikerjakan
semua jangan ditinggalkan semua.” []
DAFTAR PUSTAKA
Chaudhry, Muhammad Sharif. Fundamental of Islamic
Economic System. Dalam versi Indonesia, Sistem Ekonomi Islam: Prinsip
Dasar. Jakarta: Kencana, 2014.
Ad-Dimyathi, Sayyid Bakri. I’anah Ath-Thalibin. Indoensia:
Al-Haramain, t.t.
Hamidi, M. Luthfi. The Crisis. Jakarta: Republika,
2012.
Al-Masyukhi, Ziyad bin Abid. Al-Istidh’af wa Ahkamuh
fi Al-Fiqh Al-Islami. Riyadh: Dar Kunuz Isybiliya, 2012.
Mas’udi, Masdar Farid. Syarah UUD 1945 Perspektif
Islam. Jakarta: PT Pustaka Alvabet. 2013.
Masha, Nasihin. Perjuangan Melawan kalah. Jakarta;
Republika, 2014.
Al-Qurthubi, Muhammad. Al-Jami li Ahkam AL-Quran. Beirut:
Al-Resalah Publishers, 2006.
Al-Qummi, Hasan. Gharaib Al-Quran wa Raghaib
Al-Furqan. Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, 1996.
Ar-Razi, Muhammad Fakhruddin. Mafatih Al-Ghaib. Beirut:
Dar Al-Fikr. 1981.
Satrio, Tendy dan Yuni Madiati. Social Trust Fund:
Lembaga Keuangan Mikro Berbasis Sosial Ala Dompet Dhuafa. Ciputat: Dompet
Dhuafa, 2014.