20160623

MODEL PEMBERDAYAAN UMAT BERBASIS QARD HASAN PADA PROGRAM SOCIAL TRUST FUND (SFT) DOMPET DHUAFA


Social Trust Fund (STF) adalah sebuah ikhtiar dari Dompet Dhuafa sebagai alternatif untuk mengisi ruang yang mulai ditinggalkan institusi dan lembaga-lembaga keuangan Islam (IBF). Ruang itu adalah pemberdayaan umat. Sejatinya, salah satu ide besar mendirikan IBF adalah sebagai salah satu pusat pengembangan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Tetapi ide ini ternyata semakin terabaikan. Menurut Hamidi (2012:333), sekarang ini tujuan IBF kurang lebih sama dengan perbankan konvensional; maksimasi profit. Program pemberdayaan umat dinomor-belakangkan.

            M. Dawam Rahardjo dalam tulisannya (Kompas, 14/2/2014) mengatakan, sekarang ini bank syariah secara esensial tidak berbeda dengan bank konvensional; masih sebagai lembaga “peternakan uang”. Misi sosial IBF untuk membela kaum dhuafa kehilangan tempat. Misalanya perbankan syariah, menurut data sekitar 70 persen akad di bank-bank syariah masih berupa transaksi murabahah yang melayani kebutuhan konsumsi dan perdagangan dengan sistem mark up. Pembiayaan yang bersifat sosial seperti qard hasan meskipun ada jumlahnya amat minim. (Hamidi, 2012:333) Akhirnya, lembaga ini tetap menguatkan premis “bank tidak bisa disentuh orang miskin”. Seperti bank pada umumnya, mereka cenderung enggan melayani rumah tangga berpendapatan rendah, karena dianggap tidak bankable.

            Memang IBF juga bukan lembaga sosial dan keberadaannya sendiri tidak mungkin mengatasi tugas atau misi mengentaskan kemiskinan. (Hamidi, 2012:334) Fakta tersebut menginisisasi pembentukan lembaga keuangan mikro berbasis sosial yang dikenal dengan Sosial Trust Fund (STF). STF dikembangkan untuk memainkan fungsi bank orang miskin yang sesungguhnya. Transaksi dominan yang dikembangkan pun berbasis kepada akad qard hasan. Dengan menggunakan sistem qard hasan, program ini berbeda dengan program “bagi-bagi uang”, seperti Bantuan Langsung Tunai (BLT). Program ini menuntut pelibatan dan pemberdayaan kaum dhuafa. Masyarakat penerima manfaat juga tertantang untuk bekerja produktif karena harus mengembalikan dana pinjaman.

Program yang dikembangkan oleh Dompet Dhuafa ini patut diapresiasi dan dicontoh oleh lembaga-lembaga keuangan lain dalam rangka memberdayakan kaum dhuafa lewat pembiayaan Qardh Hasan sebagai sebuah ikhtiar untuk memajukan kesejahteraan umat.

Program ini merupakan satu langkah untuk memudahkan akses pembiyaan bagi kaum dhuafa. Ini merupakan langkah untuk mengundang berkah ke negeri tercinta ini, sebagaimana sosialisi Dompet Dhuafa melalui program Zakatnesia. Nabi SAW pernah bersabda, sebagaimana diriwayatkan oleh Abi Said, “Bagaimana bisa Allah memberkati suatu bangsa di mana rakyat yang lemah tidak bisa mendapatkan hak-haknya dari yang kuat tanpa harus bersusah payah.” (Mas’udi, 2013;268)

MENGENAL LEMBAGA SOCIAL TRUST FUND (STF)

STF adalah salah satu bentuk rekayasa sosial-ekonomi yang dilakukan Dompet Dhuafa di tengah masyarakat. Tugas terbesarnya adalah memastikan bahwa Unit STF tetap menjadi entitas bejiwa sosial yang mampu tegak mandiri dan berkelanjutan, menebar kemanfaatan bagi masyarakat melalui fasilitas akses permodalan yang cepat dan murah. (Satrio, 2014:25)

Lahirnya program STF diilhami oleh susksesnya Grameen Bank yang dilahir-kan Muhammad Yunus, peraih Nobel asal Bangladesh, tempat bank ini beroperasi. Grameen Bank adalah bank yang memberikan fasilitas kredit kepada keluarga miskin, khususnya perempuan usia produktif, atau para janda di Bangladesh yang tak memiliki pekerjaan, tanpa jaminan atau agunan. Pola yang dijalankan adalah pemberian bantuan modal usaha untuk skala mikro. (Satrio, 2014:51) STF dan Grameen Bank memiliki cita-cita yang sama untuk membantu masyarakat kecil melalui sector keuangan, tetapi secara kelembagaan keduanya berbeda, jika Grameen Bank dimiliki oleh sekelompok pemilik modal, STF dimiliki oleh masyarakat sendiri. (Satro, 2014:55)

STF ini juga mirip dengan bank sosial yang sudah diterapkan di beberapa negara maju, yang merupakan antitesis bank syariah di Indonesia, BPR SYariah, atau bahkan BMT yang ternyata belum sepenuhnya berpihak kepada masyarakat kecil. STF dan bank sosial memiliki orientasi dan tujuan yang sama. Hanya saja dalam konsep bank sosial berbasis pengguna, STF memiliki orientasi benefit (manfaat), meski tidak menihilkan profit (keuntungan). (Satrio, 2014:23)

STF pertama kali digulirkan pada tahun 2009 di Padang Pariaman. Setelah itu program STF telah dan sedang dilaksanakan di delapan tempat, yaitu Tasikmalaya, Padang Pariaman, Wasior, Mentawai, Tangerang Selatan, Jakarta Barat, Surabaya, dan Manado. Dari delapan STF itu, tiga di antaranya telah dimandirikan dan bertransformasi menajdi lembagab keuangan mikro berbentuk koperasi. Perkembangannya saat ini bisa diambil dari tiga contoh unit STF Tasikmalaya. Dari 3 STF Unit tersebut mampu menebar manfaat kepada 1.646 KK dengan total dana bergulir selama program berjalan sebanyak Rp3.396 Milyar. Alokasi dana modal usaha dari 3 unit tersebut sebesar Rp1.274 Milyar. (Satrio, 2014:47-49)
           
Pada awalnya, sumber dana bergulir yang disalurkan melaui STF adalah dana kemanusiaan yang dihimpun Dompet Dhuafa ketika terjadi bencana alam di suatu wilayah. Setelah STF tidak terbatas hanya pada daerah terdampak bencana, sumber dana STF juga berkembang. Tidak saja berasal dari dana kemanusiaan, melainkan juga CSR (Corporate Social Responsibility), zakat, infak, maupun sedekah yang didonasikan para donator. (Satrio, 2014:30)

PERAN SOCIAL TRUST FUND DALAM PEMBERDAYAAN KAUM DHUAFA

            Dalam konteks beberapa ayat Alquran, yang dimaksud kaum dhuafa atau mustadh’afin menurut Al-Masyukhi (2012:22) adalah orang-orang yang berada dalam kondisi lemah, di mana mereka tidak sanggup untuk menampakkan identitas keislaman dan syiar-syiarnya, atau tidak mampu menerapkan keseluruhan atau sebagian ajaran Islam dikarenakan keberadaan musuh atau pemimpin yang zalim.

            Namun, jika kita melakukan pengkajian dari peristilahan yang digunakan Allah dalam Alquran secara keseluruhan dan dengan mengkaji akar katanya, maka yang dikatakan mustadh’afin, terkait erat dengan konteks ekonomi, konteks kemerdekaan dan juga konteks fisik. Alquran merinci mereka, antara lain; anakanak yatim; orangorang miskin; ibnussabil (musafir); orang yang memintaminta; hamba sahaya (alBaqarah; 177); tunanetra; orang cacat fisik; orang sakit (an Nuur:61); manusia lanjut usia (al Israa’: 23) orangorang fakir; orangorang yang berutang (gharimin); orang yang berjuang di jalan Allah (fii Sabilillah) (at Taubah:60); rakyat kecil yang tertindas (an Nisaa’:75); anakanak kecil dan bayi (al An’aam:140).

Alquran mendorong agar kaum dhuafa ini dibela dan dibebaskan. Menurut Fazlur Rahman, di antara Major Themes of Al-Quran adalah membela, menyelamatkan, membebaskan, melindungi dan memuliakan kelompok mustadh’afin ini. (metroislam.com, 8/8/2015) Satu ayat dari surat An-Nisa`, tepatnya ayat 75, menurut penulis cukup untuk mendukung argument ini. “Mengapa kamu tidak mau berperang di jalan Allah dan (membela) orang-orang yang lemah baik laki-laki, wanita-wanita maupun anak-anak.”
           
Pangkal ayat ini, baik menurut Ar-Razi (10/187) maupun Al-Qurthubi (6/459) menunjukkan jihad fi sabilillah adalah sebuah kewajiban. Menurut Az-Zujjaj, sebagimana diutip oleh Al-Qurthubi, kata al-mustadh’afin diathafkan kepada kata Allah. Sehingga dia berkesimpulan bahwa membebaskan mustadh’afin termasuk bagian sabilillah. Pendapat lain mengatakan dia diathafkan kepada kata sabil. Sehingga ayat ini bermakna, “Kenapa kamu tidak berperang di jalan Allah, dan kenapa kamu tidak berperang demi membebaskan kaum mustadh’afin?” Jihad fi sabilillah disejajarkan dengan jihad atau perang untuk membebaskan mustadh’afin.

Kalangan mustadh’afin adalah masyarakat yang sangat perlu mendapat bantuan dan pemberdayaan. Keberhasilan Grameen Bank di Bangladesh menjadi salah satu argument untuk mendukung filosofi bahwa orang miskin sebenarnya memiliki potensi untuk berkembang, asalkan dibantu dan diberdayakan. (Satrio, 2014:51) Setidaknya, kita dapat menangkap pesan tersirat dari Alquran yang mendukung filosofi ini dalam surat Al-Qashash ayat 5. Di mana kaum mustadh’afin memiliki peluang untuk menjadi para pemimpin dan pewaris bumi.
           
Untuk itu, STF melakukan upaya untuk memberdayakan kalangan mustadh’afin :

Pertama, Memudahkan akses pembiayaan kaum dhuafa. Untuk itu, Social Trust Fund (STF) didirikan di tengah-tengah komunitas marginal, bencana, ataupun kantong miskin perkotaan. (Satrio, 2014:11) Karena visi STF adalah membantu percepatan pengembangan ekonomi masyarakat di wilayah bencana, pedesaan, pesisir dan perkotaan melalui penumbuhan lembaga keswadayaan local berbasis keuangan mikro dan komunitas yang mampu memberikan manfaat secara sosial-ekonomi (multiplier effect). (Satrio, 2014:23)

Kedua, Sasaran pembiayaan adalah usaha-usaha yang digeluti mustadh’afin. Praktek yang dijalankan memerankan fungsi bank orang miskin sesungguhnya. Dalam pengelolannya, ada empat sector ekonomi mikro menjadi sasaran penerima manfaat program STF: kelompok perdagangan mikro; kelompok industri kecil rumah tangga; kelompok jasa; dan kelmpok pertanian, perikanan, perikanan dan peternakan. (Satrio, 2014:44)

Ketiga, Memandirikan STF menjadi lembaga yang dikelola oleh mustadh’afin. Awalnya, lembaga ini akan dikelola oleh masyarakat sendiri dengan bantuan dan dampingan Dompet Dhuafa. Setelah masa pendampingan selesai, lembaga ini terus berjalan memberikan kebermanfaatan bagi masyarakat miskin yang membutuhkan pinjaman modal usaha dan yang lainnya. (Satrio, 2014:12) Karena program ini dirancang agar dapat berkelanjutan, maka STF harus memberdayakan masyarakat local.  STF harus mampu meningkatkan kapasitas masyarakat setempat, sehingga di kemudian hari mereka dapat menjalankan program ini secara berkesinambungan.  (Satrio, 2014:23)

Entitas STF berbentuk lembaga keuangan mikro-koperasi. Karena bentuk lembaga ini yang memungkinkan segenap warga di daerah sasaran dapat terlibat aktif dan memiliki secara bersama-sama. Hingga saat ini koperasi masih dinilai merupakan bentuk yang ideal untuk membangun ekonomi kerakyatan. (Satrio, 2014:24)

SKEMA PEMBIAYAAN QARDH HASAN DALAM PRAKTIK SOCIAL TRUST FUND

Salah satu model pembiayaan alternatif dalam Alquran guna membantu dan memberdayakan mustadh’afin adalah melalui pembiayaan berbasis qardh hasan (pinjaman kebajikan). Uniknya, dalam sebuah hadis riwayat Al-Baihaqi, disebutkan meminjamkan sesuatu lebih baik daripada menyedekahkannya. (Ad-Dimyathi, 3/48) Jika kita gunakan filosofi “memberi kail, bukan memberi ikan” tentu saja memberi pinjaman bisa jadi lebih baik daripada sedekah.

Dalam Alquran, anjuran utuk memasyarakatkan pembiayaan ini dapat ditemukan dalam surat al-Hadid ayat 11, at-Tagabun ayat 17 dan surat al-Baqarah ayat 245. Dalam surat Al-Hadid disebutkan, “Siapakah yang mau meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, Maka Allah akan melipat-gandakan (balasan) pinjaman itu untuknya, dan Dia akan memperoleh pahala yang banyak.”

Qardhul hasan dalam kitab-kitab klasik adalah qardh. Qardh secara etimologi berarti al-qot’u yang artinya pemotongan. Suatu pinjaman dianggap baik (hasan), halal dan murni apabila tidak bercampur dengan sesuatu yang haram, tidak dicemari perilaku menyebut-nyebutnya dan menyakiti si penerima, dan tidak dilakukan untuk tujuan riya` dan sum’ah, tetapi dilakukan murni mengharap ridha Allah semata. (Al-Qummi, 1996:1/662)

Qardh hasan atau benevolent loan adalah suatu pinjaman lunak yang diberikan atas dasar kewajiban sosial semata, dimana si peminjam tidak dituntut untuk mengembalikan apapun kecuali modal pinjaman. PSAK No. 59 tentang akuntansi perbankan syariah paragrap 139-141, menjelaskan bahwa pinjaman qardh adalah penyediaan dana atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara peminjam dengan pihak yang meminjamkan mewajibkan peminjam melunasi utang setelah jangka waktu tertentu. Pihak yang meminjamkan dapat menerima imbalan, tetapi tidak diperkenankan untuk dipersyaratkan di dalam perjanjian. (Muljono, 2015:201)

Alquran menunjukkan bahwa pinjaman yang diberikan dapat tumbuh berlipat-ganda. Secara mikro, qardh memang tidak memberikan manfaat langsung bagi orang yang meminjamkan. Namun secara makro, qardh akan memberikan manfaat bagi perekonomian secara keseluruhan. Hal ini disebabkan karena pemberian qardh membuat velocity of money (percepatan perputaran uang) akan bertambah cepat, yang berarti bertambahnya darah baru bagi perekonomian, sehingga pendapatan nasioanl (national income) maningkat. Dengan peningkatan pendapatan nasional, maka pemberi pinjaman akan meningkat pula pendapatnnya. (Muljono, 2015:196)

Sisi sosial pembiayaan melalui qardh hasan ini dapat ditangkap dengan jelas dari salah satu prinsipnya dalam Alquran, tepatnya dalam surat Al-Baqarah ayat 280, “Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, Maka berilah tangguh sampai Dia berkelapangan. dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.”

Qardh Hasan merupakan salah satu ciri pembeda bank Islam dengan bank konvensional yang di dalamnya terkandung misi sosial, di samping misi komersial. (Huda, 2010:64) Oleh karena itu, Dewan Syariah Nasional MUI mengeluarkan fatwa No. 19/DSN-MUI/IX/2000 tentang qardh oleh LKS. Di dalam pertimbangannya disebutkan bahwa penyaluran dana melalui prinsip qardh merupakan salah satu sarana peningkatan perekonomian yang dapat dilakukan oleh LKS. Dalam fatwa ini ditekankan LKS, disamping sebagai lembaga komersial, harus dapat berperan sebagai lembaga sosial yang dapat meningkatkan perekonomian secara maksimal. (Huda, 2010:60) Salah satu sarana yang dapat dimaksimalkan adalah dengan  memasyarakat-kan pembiayaan Qardh Hasan.
           
Dalam rangka membumikan pesan Alquran untuk mempraktikkan skema pembiayaan qardh hasan, sebagai bentuk ibadah sosial, guna melayani dan memudahkan akses pembiayaan bagi kaum duafa, STF memberikan porsi besar dan mengutamakan model pembiayaan qardh hasan ini. Dalam praktik STF, pembiayaan qardh hasan dapat dilihat dari beberapa poin berikut ini :

Pertama, Setelah STF menjadi sebuah lembaga keuangan, lembaga ini tidak boleh berorientasi profit semata, dan menihilkan nilai-nilai sosial. Oleh karenanya harus diatur bahwa akad Qradh Hasan harus memiliki porsi yang relative besar tanpa mengabaikan pengembangan dan ekspansi lembaga. (Satrio, 2014:24)

Kedua, Pada tahun pertama, semua skema pinjaman menggunakan akad Qardh Hasan. Artinya, masyarakat cukup mengembalikan pokok pinjaman, tanpa ada kelebihan. Namun demikian, setiap penerima manfaat dianjurkan untuk membayar infak sesuai dengan kemampuan. (Satrio, 2014:32)

Ketiga, Pada tahun kedua, STF unit baru diperkenankan untuk menerapkan skema Murabahah atau Mudharabah. Akad non-Qardh Hasan ini diterapkan bagi mereka yang menerima fasilitas pinjaman kedua, dan atau mereka yang telah mengalami peningkatan taraf ekonomi atau kemajuan usahanya. Artinya, tidak semua yang telah mendapat fasilitas pinjaman pertama harus mengikuti skema Murabahah. Mereka dapat meminjam kemnali denga akad Qardh Hasan dengan plafon sama atau range yang telah ditentukan. Skema di luar Qardh Hasan seperti Murabahah dan sebagainya ditekankan hanya memiliki porsi maksimal 40 persen di setiap STF pada tahun kedua. (Satrio, 2014:34)

POTENSI DAN KENDALA PENGEMBANGAN SOCIAL TRUST FUND

Potensi dan peluang STF menjadi sebuah lembaga yang mampu mensejahterakan umat dengan menggerakkan ekonomi masyarakat di lapisan bawah, paling tidak dapat dilihat dari beberapa aspek:

Pertama, pengembangan usaha mikro. Berdasar data Mei 2014, hampir semua STF, porsi sector usaha mikro mencapai 80 persen lebih dari sekitar tiga ribuan KK penerima manfaat. (Satrio, 2014:44)  Usaha-usaha ini berpotensi membuka lapangan kerja baru, sehingga dapat mengurangi angka pengangguran.

Kedua, pemberian qardh membuat velocity of money (percepatan perputaran uang) akan bertambah cepat, yang berarti bertambahnya darah baru bagi perekonomian, sehingga pendapatan nasioanl (national income) maningkat. Dengan peningkatan pendapatan nasional, maka pemberi pinjaman akan meningkat pula pendapatnnya. (Muljono, 2015:196)

Ketiga, menggenjot lahirnya entrepreneur-entrepreneuer baru. Dana yang diberikan kepada penerima manfaat adalah modal yang kelak harus dikembalikan. Karena itu, para penerima manfaat akan tertuntut untuk mengembangkan sebuah usaha produktif. Lahirnya pengusaha-penguasaha baru ini memberikan nilai positif dalam pertumbuhan ekonomi. Data memperlihatkan bahwa kemajuan suatu bangsa salah satunya ditentukan oleh seberapa banyak proporsi jumlah pengusaha di negara itu. Ciputra, seorang taipan Indonesia, berpendapat untuk pertumbuhan ekonomi yang konsisten sebuah negeri membutuhkan sedikitnya 5 persen penduduknya adalah pengusaha. (Nasihin Masha, 21014:24)

Keempat, peluang untuk mengembangkan program ini masih sangat terbuka, mengingat mayoritas penduduk Indonesia dinilai sebagai non-bankable, sehingga sangat memerlukan program sejenis ini. Penempatannya juga sangat memudahkan untuk mendapat akses dari masyarakat. Program ini masih baru, jika terus dikembangkan, program ini dapat menjadi harapan baru untuk menggenjot perekonomian bangsa, khususnya di arus bawah.

Program STF ini bukan nihil kekurangan dan kosong kritikan. Program ini masih harus terus disempurnakan dan dilakuakan perbaikan. Tantangan dan kendala yang sering muncul adalah :

Pertama, momok kredit macet. Setelah berubah menjadi koperasi STF, sebagian besar anggota tidak memiliki agunan atas pinjamannya sehingga memiliki resiko yang lebih besar. Resiko besaran pinjaman/pembiayaan bermasalah relative sangat tinggi jika dibandingkan dengan lembaga keuangan lain, maupun perbankan pada umumnya. Rasio tersebut bisa mencapai 30 persen bahkan lebih. (Satrio, 2014:118)

Kedua, dilema pinjaman konsumtif. Tujuan awal program ini adalah untuk membantu masyarakat dalam permodalan agar mampu bangkit setelah tertimpa bencana. Namun dalam realitanya tidak sepenuhnya dapat dimanfaatkan penggunaannya untuk hal tersebut. Masyarakat kecil di sekitar kita tidak bisa semua dipaksa untuk menjalankan usaha, sementara mereka memiliki hajat yang mendesak untuk dipenuhi. (Satrio, 2014:127)

Ketiga, kapasitas dan kualitas SDM. Permasalahan SDM memang menjadi tantangan utama pengelolaan program STF. Kendala pertama yang dihadapi adalah sangat sulitnya menemukan seseorang yang memiliki taraf pendidikan tinggi di daerah pesisir dan pedesaan. Permasalahan kedua adalah lemahnya kepemimpinan. Kadang “anak buah” yang dipimpinnya tidak mampu menerjemahkan tugas yang diberikan. (Satrio, 2014: 129-130)

AKHIR KALAM

Sistem ekonomi yang dibawa Nabi Muhammad meliputi semua aspek kehidupan manusia dalam rangka membela ekonomi kaum duafa. Muhammad Sharif Chaudhry, seorang hakim agung di Pakistan, menuliskan dalam bukunya, Fundamental of Islamic Economic System, tujuan primer sistem ekonomi Islam, berdasarkan Alquran surat Al-Hasyr:7, adalah menjembatani celah antara si kaya dan si miskin dengan merekayasa distribusi kekayaan maupun sumber-sumber ekonomi demi kebaikan mereka yang kurang beruntung. (2014:33)

Social Trust Fund (STF) hadir untuk memerankan tujuan sistem primer ekonomi Islam tersebut. STF dihadikran sebagai sebuah lembaga keuanganmikro berbasis sosial yang dibangun untuk memerankan bank orang miskin sesungguhnya. STF hadir di tengah-tengah masyarakat marginal, pesisir, desa dan kantong miskin perkotaan. STF memberikan mereka akses pembiayaan dan harapan, ketika lembaga-lembaga keuangan lain enggan memberikannya.
           
STF telah berhasil menjadi sebuah lembaga yang mencerminkan nilai-nilai sosial Alquran, baik dalam pemberdayaan kaum mustadh’afin, maupun dalam skema pembiayaan berbasis sosial melalui akad Qardh Hasan.
           
Lembaga ini merupakan salah satu representasi sistem ekonomi Islam yang sesungguhnya, karena orientasinya bukan profit semata tetapi kebermanfaatan untuk pemberdayaan masyarakat yang merupakan syarat mutlak memajukan kesejahteraan yang berkeadilan. Potensinya untuk memajukan kesejahteraan dapat dilihat dari beberapa aspek, antara lain; kemampuannya untuk mengembangkan usaha-usaha mikro, yang nantinya dapat membuka lapangan kerja baru, dan melahirkan pengusaha-pengusaha baru. Selain itu, kesederhanaan pembiayaan ini akan mempercepat perputaran uang di tengah masyarakat, yang secara tidak langsung akan meningkatkan pertumbuhan perekonomian. Namun demikian, program ini bukan tanpa cela, dan harus terus dilakukan perbaikan dan penyempurnaan.

Program ini layak diapresiasi dan diteladani oleh lembaga-lembaga keuangan Islam lainnya. Namun, menyadari bahwa program ini masih relative muda, masih banyak yang harus dibenahi dalam pengelolaannya. Namun berpegang pada prinsip ushuliyah, bahwa “sesuatu yang tidak bisa dikerjakan semua jangan ditinggalkan semua.” []

DAFTAR PUSTAKA

Chaudhry, Muhammad Sharif. Fundamental of Islamic Economic System. Dalam versi Indonesia, Sistem Ekonomi Islam: Prinsip Dasar. Jakarta: Kencana, 2014.
Ad-Dimyathi, Sayyid Bakri. I’anah Ath-Thalibin. Indoensia: Al-Haramain, t.t.
Hamidi, M. Luthfi. The Crisis. Jakarta: Republika, 2012.
Al-Masyukhi, Ziyad bin Abid. Al-Istidh’af wa Ahkamuh fi Al-Fiqh Al-Islami. Riyadh: Dar Kunuz Isybiliya, 2012.
Mas’udi, Masdar Farid. Syarah UUD 1945 Perspektif Islam. Jakarta: PT Pustaka Alvabet. 2013.
Masha, Nasihin. Perjuangan Melawan kalah. Jakarta; Republika, 2014.
Al-Qurthubi, Muhammad. Al-Jami li Ahkam AL-Quran. Beirut: Al-Resalah Publishers, 2006.
Al-Qummi, Hasan. Gharaib Al-Quran wa Raghaib Al-Furqan. Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, 1996.
Ar-Razi, Muhammad Fakhruddin. Mafatih Al-Ghaib. Beirut: Dar Al-Fikr. 1981.
Satrio, Tendy dan Yuni Madiati. Social Trust Fund: Lembaga Keuangan Mikro Berbasis Sosial Ala Dompet Dhuafa. Ciputat: Dompet Dhuafa, 2014.